sumber : https://www.google.co.id
Secara sosiologis, bekerjasama (cooperation) merupakan salah satu bentuk proses
interaksi sosial yang paling utama. Bagi para ahli sosiologi, memaknai
bekerjasama tidak hanya bersifat positif tetapi juga dapat diartikan
secara negatif. Contohnya, apabila ada dua orang berkelahi, dan agar
perkelahian itu terjadi maka kedua lawan harus ”bekerjasama” untuk saling tinju
dan mencakar. Makna di atas tentu saja mengambil ruang lingkup yang sangat luas
dan menimbulkan batas pengertian yang kabur. Untuk menghindari salah
pengertian, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan bekerjasama adalah kerjasama
antar orang perorangan dan antar kelompok manusia untuk mencapai satu atau
beberapa tujuan bersama dalam organisasi.
Bentuk kerjasama dapat dijumpai pada semua kelompok orang dan usia. Sejak masa
kanak-kanak, kebiasaan bekerjasama sudah diajarkan di dalam kehidupan keluarga
dan kerabat. Setelah dewasa, ia akan mengembangkan kerjasama dengan orang lain
untuk kelangsungan hidupnya. Ketika itu, bekerjasama tidak cukup didasarkan
pada asas kekeluargaan dan atau kepercayaan semata, tetapi semakin kompleks
karena menuntut sejumlah persyaratan keahlian tertentu dari masing-masing
anggota kerjasama. Jika tidak memiliki keahlian tertentu maka ia tidak dapat
menjalin kerjasama dengan sesamanya. Selain keahlian, juga mensyaratkan suasana
pergaulan yang menyenangkan, sistem pembagian kerja dan balas jasa yang
diterimanya secara adil dan disepakati.
Kerjasama yang terjalin dalam kelompok tradisional, akan bertambah kuat apabila
ada bahaya dari luar yang mengancam dan menyinggung kesetiaan kelompok. Mereka
akan bersikap agresif jika dalam jangka waktu lama mengalami kekecewaan yang
ditimbulkan oleh adanya rintangan yang bersumber dari luar kelompoknya. Bahkan
akan semakin tajam jika kelompok tersebut merasa tersinggung atau dirugikan
oleh kelompok lainnya. Dalam batas tertentu, perlawanan yang bersifat kelompok
ada baiknya yaitu untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun, seringkali keadaannya bersifat kontra-produktif, di mana anggota
kelompok kurang berinisiatif dan kurang daya kreasinya oleh karena orang
perorangan terlalu mengandalkan pada bantuan dari rekan sekelompoknya.
Dari sudut sosiologis, pelaksanaan kerjasama antar kelompok masyarakat ada tiga
bentuk (Soekanto, 1986; 60 – 63) yaitu: (a) bargaining yaitu
kerjasama antar orang perorang dan atau antar kelompok untuk mencapai tujuan
tertentu dengan suatu perjanjian saling menukar barang, jasa, kekuasaan, atau
jabatan tertentu, (b) cooptation yaitu
kerjasama dengan cara rela menerima unsur-unsur baru dari pihak lain dalam
organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan
stabilitas organisasi, dan (c) coalitionyaitu
kerjasama antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama. Di
antara oganisasi yang berkoalisi memiliki batas-batas tertentu dalam kerjasama
sehingga jatidiri dari masing-masing organisasi yang berkoalisi masih ada.
Bentuk-bentuk kerjasama di atas lebih cenderung politis daripada sebuah makna
yang membangun tim kerja dalam organisasi.
Selain
pandangan sosiologis, kerjasama dapat pula dilihat dari sudut manajemen yaitu
dimaknai dengan istilah collaboration. Makna
ini sering digunakan dalam terminologi manajemen pemberdayaan staf yaitu satu
kerjasama antara manajer dengan staf dalam mengelola organisasi. Dalam
manajemen pemberdayaan, staf bukan dianggap sebagai bawahan tetapi dianggap
mitra kerja dalam usaha organisasi (Stewart, 1998; 88). Implikasinya, jika
semua staf dipandang mitra maka mereka dapat mengambil inisiatif untuk
melakukan rapat kerja dan memimpinnya. Walaupun demikian, tentu saja masih
diperlukan koordinasi.
Kerjasama (collaboration) dalam pandangan Stewart merupakan bagian
dari kecakapan ”manajemen baru” yang belum nampak pada manajemen tradisional.
Dalam manajemen tradisional terdapat tujuh kecakapan manajerial yaitu
merencanakan (planning), mengkomunikasikan (communicating), mengkoordinasikan (co-ordinating), memotivasi (motivating),
mengendalikan (controlling), mengarahkan (directing), dan memimpin (leading).
Adalah tidak dapat dipungkiri bahwa kecakapan-kecakapan di atas seperti
merencanakan, mengkomunikasikan, mengkoordinasikan, dan memotivasi perlu
dikuasai oleh seorang manajer. Namun demikian, untuk kecakapan yang ketiga
terakhir yaitu mengendalikan, mengarahkan, dan memimpin dianggap ”sudah tidak
efektif lagi”. Menurut Stewart perlu seperangkat kecakapan baru yang perlu
dikuasai oleh manajer era baru yaitu harus mampu membuat mampu (enabling), memperlancar (facilitating),
berkonsultasi (consulting), bekerjasama (collaborating), membimbing (mentoring),
dan mendukung (supporting).
Dalam bersosialisasi dan berorganisasi, bekerjasama memiliki kedudukan yang sentral
karena esensi dari kehidupan sosial dan berorganisasi adalah kesepakatan
bekerjasama. Tidak ada organisasi tanpa ada interaksi sosial kerjasama. Bahkan
dalam pemberdayaan organisasi, kerjasama adalah tujuan akhir dari setiap
program pemberdayaan. Manajer akan ditakar keberhasilannya dari seberapa mampu
ia menciptakan kerjasama di dalam organisasi (intern), dan
menjalin kerja sama dengan pihak-pihak di luar organisasi (ekstern).
Fungsi
bekerjasama dalam sebuah organisasi merupakan perekat antar anggota organisasi
dan untuk menyatukan arah kepada tujuan organisasi. Berikut ini adalah peranan
kerjasama dalam organisasi:
1. Kerjasama pada saat pembagian kerja (division of work). Pembagian kerja atau penempatan
karyawan, secara normatif harus menggunakan prinsip the right man in the right place dan
rasional/objektif. Pada prosesnya perlu menjalin kerjasama untuk saling berbagi
tugas dalam menjalankan organisasi.
2. Kerjasama dalam merumuskan wewenang dan tanggung jawab
(authority and responsibility). Dalam tugas
pekerjaannya, setiap staf dilengkapi oleh wewenang dalam melakukan pekerjaan
tertentu dan setiap wewenang itu melekat suatu pertanggungjawaban. Agar staf
dapat menjalankan kewenangan dan memenuhi tanggungjawabnya, perlu diberi
peluang untuk saling bekerjasama antar sesama staf dan antara dirinya dengan
manajer terkait.
3. Kerjasama dalam pembinaan kesatuan perintah (unity of command) dan pengarahan (unity of direction). Dalam melakasanakan pekerjaan,
karyawan yang benar akan memperhatikan prinsip kesatuan perintah pada bidangnya
sehingga pelaksanaan kerja dapat dijalankan dengan baik. Karyawan juga harus
tahu kepada siapa ia harus bertanggung jawab. Perintah yang datang dari manajer
bagian yang lain kepada seorang karyawan akan merusak jalannya wewenang,
tanggung jawab, dan pembagian kerja. Untuk memastikan adanya kesatuan perintah,
perlu dijalin komunikasi dan kerjasama. Dalam pelaksanaan kerja, bisa saja
terjadi adanya dua perintah yang bertentangan. Untuk keserasian perintah,
sekali lagi diperlukan komunikasi, konsensus, dan kerjasama.
4. Kerjasama dibina untuk menjaga ketertiban (order) organisasi. Ketertiban dalam organisasi dapat
terlaksana dengan aturan yang ketat atau dapat pula karena telah terciptanya
budaya kerja yang sangat kuat. Ketertiban dalam suatu pekerjaan dapat terwujud
apabila seluruh karyawan, baik atasan maupun bawahan mempunyai disiplin yang
tinggi dari masing-masing anggota organisasi. Jika ada salah seorang anggota
organisasi tidak disiplin, seringkali kita memintanya untuk meningkatkan
kerjasamanya agar budaya organisasi dapat tertib kembali.
Kerjasama
dibina untuk menjaga semangat kesatuan (semangat korp). Setiap staf harus
memiliki rasa kesatuan, yaitu rasa senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan
semangat kerjasama yang baik. Semangat kesatuan akan lahir apabila setiap
karyawan mempunyai kesadaran bahwa setiap karyawan sangat berarti bagi karyawan
lain. Setiap bagian dibutuhkan oleh bagian lainnya. Manajer yang memiliki
kepemimpinan akan mampu melahirkan semangat kesatuan (esprit de corp), sedangkan manajer yang suka memaksakan
kehendak dengan cara-cara yang kasar akan melahirkan friction de corp(perpecahan dalam korp).
Setelah kita memahami tentang kedudukan dan fungsi bekerjasama dalam sebuah
organisasi, kita dapat menarik pemahaman bahwa kerjasama memiliki kedudukan
yang sangat penting. Setiap organisasi, sekecil apapun, akan mengandalkan aspek
kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi tersebut. Bahkan secara tegas
disebutkan bahwa tidak ada organisasi tanpa ada kerjasama. Chester I. Barnard
dalam bukunya The Executive Functionsmengemukakan
bahwa organisasi adalah sistem kerjasama antara dua orang atau lebih (Djatmiko,
2002; 1). James D. Mooney juga berpendapat bahwa organisasi adalah setiap
bentuk kerjasama untuk pencapaian tujuan bersama.
http://bismimuhammadnur.blogspot.co.id
0 komentar:
Posting Komentar